HUKUM PERDATA, HUKUM PERIKATAN, HUKUM PERJANJIAN
A.  
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Selain istilah hukum
perdata, jenis hukum ini juga dikenal dengan istilah hukum privat materiil atau
hukum sipil. Definisi Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara
orang perorangan di dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum pidana mengatur
hubungan antara masyarakat dengan negara atau yang berkaitan dengan hukum
publik, justru pengertian hukum perdata adalah sebaliknya yakni mengatur
hubungan antara subyek hukum dalam masyarakat dan yang berkaitan dengan hukum
privat. Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan dalam
masyarakat..
Di sisi lain juga
terdapat beberapa pendapat para ahli hukum yang mendefinisikan mengenai hukum
perdata. Salah satunya adalah Prof. Soediman Kartohadiprojo, S.H yang
menyatakan bahwa hukum perdata tersebut dibuat untuk mengatur kepentingan
perseorangan yang satu dengan perorangan lainnya. sedangkan definisi hukum
perdata dari Prof R. Soebekti adalah semua hak yang meliputi hukum privat
materiil yang mengatur kepentingan perorangan, berbeda dengan pendapat Prof Dr,
Wirjono Prodjodikoro S. H yang menyatakan bahwa hukum perdata merupakan suatu
rangkaian hukum yang terjadi antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain
yang mengaturtentang hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari.
Klasifikasi Hukum
perdata dapat dibagi menjadi hukum perdata materil dan hukum perdata formil.
Hukum perdata materil berkaitan dengan muatan atau materi yang diatur dalam
hukum perdata itu sendiri, sedangkan hukum perdata formil adalah hukum yang
berkaitan dengan proses perdata atau segala ketentuan yang mengatur mengenai
bagaimana pelaksanaan penegakan hukum perdata itu sendiri, seperti melakukan
gugatan di pengadilan. Hukum perdata formil juga dikenal dengan sebutan hukum
acara perdata
Ruang
Lingkup Hukum Perdata
Berdasarkan
klasifikasi ruang lingkup hukum perdata terdapat dua jenis diantaranya adalah Hukum Perdata Dalam Arti
Luas. Pada dasarnya meliputi semua hukum privat meteril, yaitu segala hukum
pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan,
termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang diatur
dalam sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya.
Klasifikasi ruang lingkup hukum perdata selamjutnnya
ditinjau dari hukum perdata dalam arti sempit. Dimana diartikan sebagai
kebalikan dari hukum dagang yang tercantum dalam KUHP perdata. Dengan demikian
jenis hukum ini merupakan jenis hukum yang tertulis.
Contoh kasus :
Budi
merupakan pria yang telah menikah dan memiliki 1 orang anak dari pernikahannya
dengan seorang wanita yang bernama Intan. Pada suatu hari, ada seorang
laki-laki bernama Zaenudin datang menemui Budi, dan mengaku sebagai anak Budi.
Mengingat bahwa masa muda Budi yang terbilang cukup kelam, yaitu terlibat pada
dunia seks bebas dan penyalahgunaan obat-obat terlarang, maka Budi mengakui
Zeanudin sebagai anaknya yang dilahirkan Susi, mantan pacar Budi sebelum Budi menikah.
Beberapa bulan kemudian Budi meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan
seorang istri dan seorang anak kandung serta Zaenudin sebagai anak luar nikah
diakui.
 Penyelesaian     :
 Menurut Pasal 272 KUH Perdata anak luar
kawin adalah:
“Anak
luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu,
tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina
atau anak sumbang”.
Dalam
pasal diatas menegaskan yang dimaksud anak luar kawin adalah anak yang
dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh lelaki yang berada
dalam ikatan pernikahan yang sah dengan ibu dari anak tersebut.
Anak
luar nikah dapat mewaris sepanjang anak tersebut mempunyai hubungan hukum
dengan pewaris. Hubungan hukum dalam hal ini adalah pengakuan dari si pewaris.
Sehingga anak diluar nikah tersebut diakui sebagai anak luar nikah diakui.
Sebab anak luar nikah diakui yang mendapat warisan hanya anak luar nikah diakui
yang diakui oleh ayahnya.
Melihat kasus diatas, maka Zaenudin menjadi ahli waris secara sah
menjadi ahli waris, karena Zaenudin telah diakui sebagai anak dari Budi (anak
luar nikah diakui). Dalam pembagian warisan, besar bagian yang diterima
tergantung dari golongan mana anak luar nikah itu mewaris. Dan dari derajat
hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Menurut Pasal 863 KUH
Perdata:
“Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau
suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka
yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”
Jika, Budi meninggal dunia dikarenakan kecelakaan lalulintas. Budi
meninggalkan harta sebesar Rp.250.000.000 dan tiga ahli waris yaitu: anak
kandung, istri, dan Zaenudin sebagai anak luar nikah diakui. Jika seandainya
Zaenudin adalah anak kandung Budi maka dia mendapat warisan sebesar 1/3 x RP.250.000.000 = 83.333.333,33 dan dikarenakan
Zaenudin berstatus anak luar nikah diakui maka Zaenudin hanya mendapat 1/3 dari
harta yang seharusnya didapatkan bila dia berstatus anak kandung yaitu sebesar
1/3 x 83.333.333,33 = 27.777.777,78 dan warisan yang didapatkan oleh istri dan
anak kandung sah Budi adalah total dari keseluruhan harta Budi dikurangi dengan
warisan yang didapatkan oleh Zaenudin.
B.    HUKUM PERIKATAN
Pengertian Hukum Perikatan
Asal kata perikatan dari
obligation (latin), obligation (Perancis, Inggris) Verbintenis (Belanda =
ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di
antaranya: Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak)
atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah
peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk
melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa
berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Intinya, hubungan perikatan
dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian
merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena
hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota
masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
1.      Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP
perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
a.   Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
b.   Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang
dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata: ”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen).
c.   Perikatan
terjadi karena undang-undang semata.
Perikatan yang timbul dari undang-undang
saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam
pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak
dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu: kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber-sumber perikatan.
d.   Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela (zaakwarneming).
2.      Asas –Asas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
a.                  Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal
1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
b.                  Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sebagai berikut:
a.                  Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara
para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian
harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang
akan diadakan tersebut.
b.                  Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia
21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
c.                   Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang
akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
d.                  Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
3.      Wanprestrasi dan Akibat - Akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu
pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau
ingkar janji. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori,
yakni :
·         Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
·         Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
·         Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
·         Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat - Akibat Wansprestasi
:
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman
atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi, dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni :
·         Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi).
·         Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi
telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
·         Peralihan Risiko.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237
KUH perdata.
C.     HUKUM PERJANJIAN
Peranan hukum yang kuat sangat dibutuhkan
oleh suatu Negara untuk mewujudkan situasi Negara yang kondunsif dan
berkomitmen. Indonesia merupakan salah satu Negara hukum dimana setiap tata
cara pelaksanaan kehidupan didalamnya berlandaskan hukum. Mulai dari yang
berbentuk tertulis maupun yang berbentuk abstrak dan dimana hukum tersebut
dijalankan oleh pemerintah dan rakyatnya.
Apa Itu Hukum Perjanjian?
Salah satu bentuk hukum yang berperan
nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat adalah Hukum Perjanjian. Hukum
perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain.Atau dapat juga dikatan hukum perjanjian
adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang
lain untuk melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, kedua belah pihak telah
menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa adanya paksaan maupun
keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
Kenapa Diciptakan Hukum Perjanjian?
Dapatkah anda membayangkan resiko apa yang
akan terjadi pada transaksi pinjam meminjam apabila tidak ada perjanjian yang
jelas? Salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah salah satu pihak akan
mangkir dari tanggung jawab untuk membayar kewajibannya. Inilah salah satu
penyebab mengapa dikeluarkannya hukum perjanjian. Hukum perjanjian dikeluarkan
dengan tujuan agar semua proses kerjasama yang terjadi dapat berjalan dengan
lancar dan untuk mengurangin resiko terjadinya penipuan atau hal apapun yang
beresiko merugikan salah satu pihak. Peranan hukum disini adalah sebagai
pengatur atau sebagai penunduk para pelaku hukum agar tetap bertindak sesuai
peraturan yang telah ditentukan, dan tentunya peraturan yang dimaksud adalah
peraturan yang berlandaskan UUD. Contohnya
Pasal 13 ayat 20 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Untuk Siapa Hukum Perjanjian Di Tujukan?
Dan Kapan Terjadinya?
Hukum perjanjian dilakukan oleh dua pihak
yang saling bekerjasama. Ketika merka sepakat untuk melakukan kerja dengan
disertai beberapa syarat (perjanjian) maka pada saat itu sudah terjadi hukum
perjanjian. Sebagai contoh dan untuk memudahkan dalam penalaran, misalnya pada
pasar uang hukum perjanjian dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu investor
dan emiten. Dikeluarkannya hukum perjanjian adalah untuk melindungi investor
dari berbagai resiko yang mungkin akan terjadi. Hukum perjanjian tidak hanya
menyangkut masalah ekonomi. Hukum perjanjian juga mengatur berbagai kerjasama
yang menyangkut dua pihak yang terkait. Misalnya hubungan antar Negara
(bilateral maupun multilateral), pengalihan kekuasaan, mengatur harta warisan,
perjanjian kontrak kerja, perjanjian perdamaian. Di Indonesia, tidak semua
perjanjian yang isinya merupakan kesepakan murni antara dua belah pihak. Tetapi
ada juga beberapa perjanjian yang didalamnya terdapat campur tangan pemerintah.
Bagaimana Proses Terjadinya Hukum
Perjanjian?
Hukum perjanjian merupakan suatu yang
terbentuk dengan mempertimbangkan berbagai  aspek yang akan terkait
didalamnya. Berikut akan dijelaskan proses terjadinya atau bagaimana terjadinya
hukum perjanjian. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya
hukum perjanjian.
Hukum perjanjian terbentuk dengan beberapa
asas-asas perjanjian :
1.      Asas Itikad Baik
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan
itikad baik adalah hukum perjanjian tersebut dibentuk dengan suatu tujuan dapat
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Yang diharapkan disini adalah kedua
belah pihak memberikan seluruh kemampuan, usaha dan prestasi mereka sesuai
dengan yang tertera di dalam surat perjanjian.
2.      Asas Konsensualitas
Dalam konteks ini, maksdunya adalah
perjanjian tersebut sudah dinyatakan sah oleh kedua belah pihak dan bukan
merupakan suatu perjanjian yang bersifat formalitas belaka.
3.      Perjanjian Berlaku sebagai Undang-undang
Dalam konteks ini, maksudnya adalah
perjanjian yang telah dibuat dan sudah disahkan dianggap sebagai acuan yang
mengikat kedua belah pihak untuk bertindak sesuai isi perjanjian.
4.      Asas Kepribadian
Dalam konteks ini, maksudnya adalah
perjanjian tersebut dibuat hanya mengaitkan kedua belah pihak saja dan tidak
ada pihak ketiga yang dirugikan akibat perjanjian tersebut.
5.      Kebebasan Berkontrak
Menyangkut :
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian
2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa
akan melakukan perjanjian
3. Kebebasan untuk menetukan obyek
perjanjian
4. Kebebasan untuk menentukan bentuk
perjanjian
Apabila azas-azas diatas telah terpenuhi,
maka hukum perjanjian dapan dapat dilaksanakan dengan membuat surat perjanjian
yang melampirkan identitas kedua belah pihak dan obyek perjanjian, dan tidak
lupa dilengkapi dengan materai. Apabila obyek perjanjian menyangkut masalah
seperti warisan atau jual beli tanah, maka pengesahannya dilakukan dengan
melibatkan notaris.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar